Achmad Syamsuddin
Bulan Agustus memiliki makna historis yang sangat penting bagi bangsa Indonesia. Bulan yang menjadi tongak sejarah kemerdekaan negara kita. Pada saat itulah pertama kalinya bangsa Indonesia menghirup udara kemerdekaan setelah tiga setengah abad lamanya hidup dalam kondisi terjajah. Kemerdekaan yang kita nikmati sekarang ini bukan tanpa pengorbanan.
Tidak hanya harta dan tenaga yang telah tercurahkan, bahkan ribuan nyawa telah dikorbankan demi kemerdekaan. Para penjuang yang telah mendahului kita sangat menyadari bahwa tanpa pertolongan Allah kemerdekaan mustahil diraih. Kesedaran yang tulus ini kemudian diabadikan dalam pembukaan UUD 45.Istilah kemerdekaan merupakan kata yang sering diucapkan tapi jarang direnungkan. Kata yang dekat dengan mulut, namun jauh dari hati dan fikiran. Wajar kalau setiap kali kita merayakan hari kemerdekaan tidak mampu menangkap makna dan substansinya. Peringatan hari kemerdekaan seringkali hanya sekedar ritus tahunan yang tidak mampu meninggal bekas untuk membuat kita berubah ke arah yang lebih baik.
Merdeka dalam terminologi bahasa Arab biasanya diungkapkan dengan kata hurrun atau hurriyah, yang artinya merdeka atau bebas. Istilah ini dalam tradisi Islam biasanya digunakan untuk menunjuk hamba sahaya yang terbebas dari kekuasaan majikannya. Dalam tradisi Arab dan juga tradisi perbudakan di negara lain seseorang yang berstatus hamba sahaya seluruh tenaga dan hartanya dimiliki oleh majikannya. Hamba sahaya yang telah terbebas dari majikannya biasanya berubah status sosialnya menjadi hurrun atau merdeka. Karena sistem perbudakan tidak manusiawi maka Islam sangat menganjurkan kepada pengikutnya untuk membebaskan hamba sahaya.
Dalam pengertian yang lebih luas merdeka dapat diartikan sebagai terbebas dari segala bentuk ketidakadilan dan penindasan, baik penindasan fisik maupun non-fisik. Merdeka juga dapat diartikan sebagai terbebas dari segala bentuk sistem yang menghegemoni dan tidak manusiawi sebagaimana yang pernah dialami oleh bangsa kita ketika berada di bawah pemerintahan kolonial Belanda selama tiga setengah abad.
Setelah proklamasi didengungkan oleh Ir. Soekarno pada tanggal 17 Agustus 1945 maka seketika itu pula status sosial bangsa kita telah menjadi hurrun atau merdeka dan sekaligus sejajar dengan bangsa-bangsa lain. Peristiwa bersejarah ini harus kita maknai secara terus menerus agar substansinya tidak hilang. Memperingati hari kemerdekaan tidak hanya sekedar serimonial rutinitas tahunan, namun harus mampu menghadirkan kembali semangat kecintaan pendahulu kita terhadap bangsa untuk membangun Indonesia ke arah yang lebih baik.
Saat ini kita telah berada dalam alam pembangunan. Tentunya dalam memaknai kemerdekan akan berbeda dengan generasi-generasi pendahulu kita. Kalau generasi pendahulu kita menjadi budak dinegeri sendiri, maka pada saat ini kita dapat dengan leluasa menikmati hasil kekayaan bumi dan segala isinya, tanpa harus meminta belas kasihan kepada siapapun. Kalau pendahulu kita tidak bebas menentukan nasibnya sendiri, maka saat ini kita telah bebas mengatur kehidupan sendiri, bebas menentukan sikap tanpa tergantung dan menunggu perintah bangsa lain. Ini merupakan nikmat yang sangat besar dan harus kita syukuri. Kalau di atas telah dijelaskan bahwa substansi kemerdekaan adalah terbebas dari segala bentuk penindasan, baik secara fisik maupun nonfisik, maka pada konteks sekarang kemerdekaan dapat kita maknai dengan kebebasan dari kebodohan, kemiskinan, keterpurukan, dan keserakahan.
Akhir-akhir ini bangsa kita banyak diterpa oleh berbagai macam bencana, seperti banjir, gempah bumi, tanah longsor, kekeringan, kecelakaan pesawat dan bencana-bencana lain yang tak terhitung jumlahnya. Peristiwa alam ini seakan-akan menegur hati nurani kita agar melakukan instropeksi diri. Peristiwa ini seakan-akan memaksa kita untuk bertanya pada diri sendiri apa yang salah dari kita, dan apa yang harus dibenahi? peristiwa ini seakan-akan juga merintahkan kepada kita untuk menjadi makluk yang pandai bersyukur dan tidak kufur kepada nikmat yang anugerahkan oleh Allah.
Mensyukuri kemerdekaan
Mengisi kemerdekaan membutuhkan ketulusan dan semangat yang super ekstra. Selain itu juga membutuhkan persatuan dan kebersamaan. Tidak jarang sebuah bangsa setelah mendapatkan kemerdekaannya justru dihadapkan pada masalah konflik internal yang tidak berujung. Kemerdekaan adalah nikmat kalau tidak pandai-pandai dan keliru dalam mensyukurinya justru akan menjadi niqmat (bencana).
Mensyukuri nikmat dalam ajaran Islam tidak harus dilampiaskan dengan pesta pora, huru-hara yang dapat membuat kita lupa dan semakin jauh dari makna subtansi kemerdekaan. Kalau dalam merayakan hari kemerdekaan ini kita menggunakan cara-cara yang tidak sesuai dengan norma dan nilai-nilai agama maka hal itu akan sangat bertentangan dengan nurani dan tujuan para pahlawan yang telah merelakan jiwa dan raganya demi kemerdekaan negara ini.
Syukur dalam ajaran Islam bisa direalisaikan dalam bentuk ucapan dan tindakan. Dalam bentuk ucapan biasanya diartikulasikan dengan mengucapkan al-hamdulillah. Namun yang terpenting adalah syukur dalam perbuatan. Mensyukuri nikmat kemerdekaan dalam bentuk perbuatan untuk konteks sekarang bisa dilakukan dengan beberapa hal. Pertama, menumbuhkan semangat persatuan dan kesatuan sebagaimana yang penah dilakukan oleh para pemuda bangsa kita ini yang kemudian dikenal dengan peristiwa sumpah pemuda. Tanpa adanya semangat persatuan dan kesatuan mustahil kita akan dapat mengisi kemerdekaan.
Kedua, menumbuhkan semangat untuk bangkit dari kebodohan. Hal ini bisa dilakukan dengan membekali ilmu pengetahuan, baik ilmu dunia maupun ilmu agama. Sebab, dalam Islam ada ungkapan yang mengatakan barang siapa yang ingin menguasai dunia maka harus dengan ilmu, barang siapa ingin menguasai agama maka juga dengan ilmu, dan barang siapa yang ingin menguasai keduanya maka juga dengan ilmu.
Ketiga, semangat untuk bangkit dari kemiskinan. Hal ini bisa dilakukan dengan kerja keras dan mewujudkan sistem pembuatan kebijakan yang berpihak kepada rakyat kecil.